Al-Quran Ihsan


Sudah hampir seminggu Ihsan mengikuti Pondok Ramadan di sekolahnya. Ihsan senang mengikuti kegiatan tersebut, karena puasanya menjadi lebih menyenangkan bersama teman-teman sekolahnya. Namun kali ini ada yang membuat Ihsan kurang nyaman, karena ada murid baru yang suka usil.

Namanya Dika. Dia juga tetangga baru Ihsan, tapi keduanya belum akrab. Dika yang anak orang kaya itu jarang keluar rumah, sehingga mereka berdua belum pernah bermain bersama-sama di rumah. 

Dan kejadian hari ini, sungguh membuat Ihsan berniat tak ingin berteman dengan Dika lagi. Saat jam istirahat, Ihsan dan Arman, teman sebangkunya, sedang asyik membuka-buka Al-Quran mereka. Namun tiba-tiba Dika mendekat dan mengomentari Al-Quran kepunyaan Ihsan.

“Aduh, Al-Quran kayak gitu kok masih dipakai terus, sih? Beli yang baru, dong. Tuh lihat, kertasnya udah kelipet-lipet, lusuh lagi!” 
Ihsan dan Arman saling berpandangan. Lalu Ihsan berdiri. 

“Heh! Biarin Al-Quran-ku jelek, tapi yang penting masih bisa dibaca. Dan yang lebih penting lagi aku membacanya tiap hari. Daripada kamu, Al-Quran bagus tapi bacanya belum bagus. Nggak rajin dibaca lagi. Hahaha....” Ihsan tak mau kalah. 
“Bilang aja kamu nggak mampu beli!” balas Dika sembari pergi. 

Entah disengaja atau tidak, tangannya menyambar Al-Quran Ihsan hingga terjatuh. Dengan dada yang meletup-letup, Ihsan mengambil Al-Quran itu. Arman memegang lengan sahabatnya itu. 
“Biarin aja anak sombong gitu! Ntar juga nggak punya temen!” kata Arman sambil memelototi punggung Dika yang menjauh. 

Sesampai di rumah Ihsan membanting tasnya ke kasur, lalu menelungkupkan tubuhnya di atasnya. 
“Ihsan, kamu kenapa, Nak?” uminya buru-buru mendekatinya. 
Ihsan segera duduk dan menghadapkan wajahnya yang sembab ke arah uminya. 
“Mi, besok anter Ihsan beli Al-Quran baru, ya? Tadi anak baru itu ngejekin Al-Quran Ihsan!” 
“Oh.. begitu, ya, masalahnya? Sini, Sayang,” uminya merengkuh Ihsan dalam pelukannya. 

Al-Quran Ihsan itu dulu adalah miliknya, dan sekarang memang sudah waktunya membelikannya yang baru. 
“Jadi, Ihsan pilih beli Al-Quran baru daripada membeli baju baru? Bener nggak nyesel?” 

Ihsan mengangguk. Sebenarnya dia ingin keduanya, tapi ia tahu umi dan abinya pasti akan keluar uang banyak untuk membelikan baju baru kedua adiknya dan pernik-pernik Idul Fitri sebentar lagi. 

*** 

Ihsan bersiap berangkat ke masjid sore itu, ketika dari ujung jalan muncul Dika dan ibunya. 
“Mi, Ihsan berangkat ke masjid, ya!” Setengah berlari dia berpamitan kepada uminya. 
Tiba-tiba terdengar panggilan Dika, “Ihsan, tunggu akuuu!!” 

Sebenarnya Ihsan tak sudi menemaninya ke masjid. Dia masih kesal. Tapi karena Dika bersama ibunya, Ihsan jadi tak enak hati. Dia pun menghentikan langkah. 
“Ihsan, yuk, ke rumahmu dulu, tante mau ngomong sesuatu,” kata ibu Dika sembari tersenyum. 

“Ihsan, kemarin Dika cerita, dia sangat menyesal karena mengejek kamu. Dia ingin meminta maaf. Ya, begitulah Dika kalau belum kenal dengan teman-temannya. Dia suka usil, tapi sebenarnya dia pengin cari teman.” 
Lalu ibu Dika mengeluarkan bungkusan dari dalam tasnya. 
“Dan ini, tolong diterima, ya.” 

Ihsan membuka bungkusan itu. Mata Ihsan membulat, lalu dia tersenyum. Isinya Al-Quran baru bertuliskan “Syaamil Quran”! Ya, Al-Quran yang selama ini dia impikan! Untung dia belum membelinya. 

"Alhamdulillah...."
“Maafin aku, ya, Ihsan?” 
“Iya. Makasih juga Al-Quran-nya. Tapi janji, ya, nggak ngusilin aku lagi?” 

Dika mengangguk. Mereka pun tersenyum dan bersalaman. 


#498 kata


Tulisan ini diikutsertakan dalam:
Lomba Menulis (Cerita) Flash Fiction Anak #AyoNgajiTiapHari


No comments

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.